Ketika Mata dan Hati Terpesona Oleh Senyuman Berduri Sang Dosen

Editor by Manoby
1

Baca Juga

Terpesona Aku ingin memujamu. Menikmati setiap nada suaramu yang menggema di setiap sudut telingaku. Aku ingin membanggakanmu. Merasakan tiap degupan malu pada detak dijantungku setiap aku menatap matamu. Aku ingin memilikimu. Melengkapi kekosongan ragu yang tanpa kau sadari menyebabkanmu hampa. Aku ingin menemanimu. Mengusir setiap kemauan sesat yang merayapi hati. Aku menyukaimu. Kau tahu?

“Za,” panggiilnya saat aku berusaha tenggelam dalam pesona memikat darinya. Aku tersentak. Gugup. Aku sibuk mencari-cari buku diatas mejaku agar aku bias pura-pura tak ketahuan memandanginya. Wajahku menghangat saat tak kutemukan sebuah bukupun diatas meja. Aku mengigit bibir bawah dengan panik.

“Kau ketahuan sedang memandangiku lagi,” ucapnya lembut. Aku tersenyum getir sambil memandang wajah tenang yang memukau itu.

“Ma-maaf, “ kataku lirih. Aku segera mengeluarkan buku dari dalam tas dan menaruhnya diatas meja,”Bisa diteruskan?” pintaku sedikit mengiba. Tidak enak juga apabila dia pulang karena aku sudah kesekian kalinya melamun di depan matanya.

Dia menelengkan kepala,” Kau sudah mengatakan itu 10 kali dan pada akhirnya aku selalu menemukanmu tengah melamun memandangku.” Dia tertawa renyah. Tubuhku melemas seketika melihat senyuman dan tawa yang meluluhkan jiwa itu. Namun, aku segera tersadar kembali karena tak ingin terlihat bodoh lagi dimatanya.

“Bapak masih mau mengajari saya, kan ?” tanyaku ragu.

“Ngh ?” Dia berhenti tertawa sesaat setelah mendengar pertanyaanku, lalu memandangku dengan tatapan aneh. “Tentu saja, Seza … Bapak dibayar untuk memberikanmu tambahan pelajaran..” Dia mengalihkan pandangannya ke atas meja sesaat, ”Tapi jika kau ingin berhenti, itu tidak masalah,” lanjutnya kemudian. Aku segera panic mendengar penuturan Pak Ren barusan.

“Tidak, Pak! Saya tidak ingin berhenti!”

“Haha.” Dia tertawa lagi. Aku bingung kenapa Pak Ren sering sekali tertawa. Aku mengerutkan kening, ”Kalau begitu, kenapa kau keluarkan buku bahasa Inggris? bukankah Bapak dibayar untuk mengajarimu matematika?” tanya Pak Ren disela tawanya. Aku tersentak kaget dan segera mengalihkan pandanganku keatas meja, tepatnya pada buku yang terletak diatasnya. Persis didepanku. Aku menepuk dahi segera setelah aku menyadari letak kesalahanku. Ah, bodohnya aku.

“Aku tau kau guruku dan selamanya kita tak mungkin bersama. Status kita terlalu jauh mungkin bagi kebanyakan orang, statusku sebagai seorang mahasiswa sebuah universitas negeri sedangkan kau adalah guru privat yang cerdas dan penuh dengan kharisma yang luar biasa. Tapi, aku benar-benar tak bisa berhenti memikirkanmu. Setiap malam aku tak bisa tidur tanpa sedetikpun mengusir sosokmu dari ingatanku. Kharismamu benar-benar bisa membuatku berdiri kaku dan mati kutu, apalagi tatapanmu sanggup mengunci kendali tubuhku.” Aku meneguk ludah sesaat,”Aku tidak tau apa yang sedang terjadi padaku, setiap waktu, aku menunggu kedatanganmu, dan setiap waktu pula aku selalu tak bisa melawan daya pesonamu dari mataku.

“Aku ... Aku, aku sadar aku menyukaimu saat perlahan-lahan rasa rindu mulai menggerayangi syaraf di hatiku, mengingatmu membuatku selalu tersenyum tanpa sebab dan membuat semua itu mengambil alih kesadaranku sendiri, lalu memenuhiku dengan segalanya tentang dirimu … hanya sosokmu.” Aku menunduk. Tak sanggup memandang matanya. Jantungku berdegup tanpa tujuan yang pasti, yang jelas jantungku berdegup sangat cepat. Menjadikannya debaran paling hebat yang pernah kurasakan seumur hidupku.



Hening. Dia tak menjawab ‘pernyataan’ cintaku barusan. Sedangkan aku sendiri tak mampu menyembunyikan salah tingkahku dihadapannya. Sungguh. Aku tak tau apa yang harus kulakukan saat ini, menunggunyakah ? atau menganggap diamnya sebagai ‘pernyataan’ yang sama?

“Maaf.” Akhirnya suara yang selalu kurindukan itu memecah keheningan diantara kami. Aku mendongak, mencoba melihatnya. Dia sedang berdiri membelakangiku, dengan punggung yang tegap itu. Meski begitu, sepatah kata yang baru saja diucapkannya itu mampu mematahkan semangat begitu saja. Aku seolah tengah terjatuh ke jurang yang sangat dalam dan gelap. Sakit. Debaran itu semakin menjadi-jadi sekarang. Aku mengigit bibir untuk mengenyahkan rasa nyeri di ulu hatiku dan menghentikan segera air mata yang meronta keluar dari pelupuk mataku.

Aku menatapnya tak percaya. Hanya itu yang diucapkan olehnya, tak ada kata yang lain lagi. Itukah jawabannya ? hanya kata ’maaf’ saja ? aku terus mencoba membentengi mataku dengan menggigit bibir, bahkan kali ini lebih keras lagi. Perlahan, kulihat dia berjalan pergi meninggalkanku tanpa sekalipun menoleh kearahku atau hanya sekedar memelukku untuk menyatakan permintaan maafnya. Dia juga tak repot berkata sampai jumpa atau yang lain. Setidaknya itulah yang kuharapkan darinya untuk paling tidak penghibur buatku.

Dia jahat ataukah aku yang terlalu bodoh dengan mengharapkannya melakukan hal-hal yang aku inginkan termasuk menerima pernyataan cintaku ? kurasa jawabanya adalah yang terakhir. Aku terlalu bodoh. Dan hujanpun turun rintik-rintik, semakin lama, butiran kecil itu berubah menjadi butiran air yang besar hingga membasahi seluruh taman ini, semuanya. Termasuk hatiku yang kurasa telah hancur berkeping-keping menjadi seonggok debu. Aku menangis.
Tags:

Posting Komentar

1Komentar

Posting Komentar